Hamba Allah atau Hamba Nafsu

Bismillah

Mukaddimah
Kita mengakui dengan LIDAH kita bahwa saya ini Hamba Allah, dan pengakuan ini kita sering kali kita ucapkan dalam sehari beberapa kali, yang rutin kita ucapkan dalam setiap shalat pada do'a iftitah اِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي ِﷲِ رَبِّ الْعَالَمِينَSesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah kerana Allah, Tuhan seluruh alam

Tapi sebenarnya tanpakita sadari kita adalah memperhambakan diri kepada Nafsu sehingga kita tidak layak disebut Hamba Al;lah tetapi Hamba Nafsu, Wanauzubillahi min zalik, Semoga Allah selamatkan saya dan ummat ini dari pada menjadi hamba Nafsu.

pada penulisan kali ini kita akan coba menjelaskan tentang Hamba Allah dan Hamba Nafsu. semoga Allah swt memberikan Taufiq dan Hidayat untuk kita dapat amalkan dan sampaikan kepada ummat ini. (Allahummah dina waja'alna sababan li manih tada") Aminnn

Hamba Allah, Apa Artinya ?Secara bahasa, menurut KBBI,  hamba artinya (1) abdi; budak belian, (2) saya. Hamba Allah menurut KBBI = manusia.

Dalam bahasa Arab, hamba Allah disebut Abdullah ('Abd Allah). Hamba ('abid) artinya orang yang mengabdi atau orang yang beribadah --dari akar kata 'abada-ya'budu-'abid.
Berarti kita tidak ada kepemilikan atas diri kita sendiri, sebenarnya kita harus bekerja untuk Tuan kita Allah SWT. Berapa banyak pengebdian yang kita lakukan seperti komitmen yang telah kita ucapkan di atas : HIDUP DAN MATI HANYA UNTUK IBADAH KEPADA ALLAH???

Apa Tugas Sebagai Hamba Allah?Semua manusia adalah hamba Allah. Harus menghamba, menyembah, mengabdi, beribadah, atau tunduk pada aturan Allah SWT (Syariat Islam).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

"Wahai manusia ! Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu ter­pelihara (bertakwa)" (QS Al-Baqarah:21).

Menurut Tafsir Al-Azhar, di ayat 21 kita (manusia) disuruh menyembah Allah. Itulah Tauhid Uluhiyah; penyatuan tempat menyembah. Sebab dia yang telah menjadikan kita dan nenek-moyang kita; tidak bersekutu dengan yang lain. Itulah Tauhid Rububiyah.

Ibnu Taimiyah berkata: “Kesempurnaan makhluk (manusia) adalah dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah"

Penghambaan diri kepada Allah SWT (‘Ubudiyyah) adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Apa Tanda-Tanda Hamba Allah ?
Dalam kitab Nashoihul Ibad, Karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang merupakan syarah atas kitab Syekh Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Asqolani (Ibnu Hajar Al-Asqolani) dijelaskan, terdapat 3 kriteria seorang hamba yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik. Syekh Nawawi berkata:

1. Ketika Allah menghendaki seorang hamba untuk menjadi orang baik, maka Allah menguatkan agamanya. 

Ciri yang pertama adalah agama seorang hamba tersebut dikuatkan oleh Allah. Dikuatkanlah keimanannya. Sehingga hamba tersebut tetap teguh menapaki jalan kebaikan, meskipun godaan malang melintang. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

"Barang siapa yang dikehendaki menjadi baik maka dikuatkanlah ia dalam perkara agama."

2. Dizuhudkanlah hamba tersebut didalam perkara dunia.

Hamba yang baik, adalah hamba yang tidak tergiur sedikitpun akan gemerlap dunia. Ia berpikir bahwa dunia hanyalah tempat singgah semata. Hanya perkara yang fana. Hamba yang baik hanya mengingat satu perkara, yaitu janji Allah akan kehidupan akhirat yang kekal adanya. Ia ingat betul akan peringatan Rasulullah tentang perkara dunia, bahwa:

"Cinta dunia adalah pokok dari segala keburukan."

3. Dan diperlihatkanlah aib-aib dalam dirinya sendiri.

Hamba yang baik tidak sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna. Mencari-cari aib sesamanya. Membicarakan keburukan orang lain. Terlebih, merasa dirinya lebih baik dan memandang orang lain terlalu buruk. Sungguh, hal tersebut jauh dari diri seorang hamba yang baik. Hamba yang baik adalah hamba yang tidak pernah membicarakan keburukan orang lain. 

Ia oleh Allah disibukkan dengan aib-aib pribadinya. Ia disibukkan dengan berintrospeksi diri, Muhasabatun Nafsi. Mencari-cari kekurangan diri sendiri untuk kemudian ia perbaiki agar kelak ia benar-benar menjadi hamba yang baik. Hal ini senada dengan perkataan ulama ahli hikmah:

"Beruntunglah bagi orang yang disibukkan dengan aib pribadinya dari pada aib-aib manusia."

Terlepas dari itu semua, Ba'dul Hukama', sebagian ulama ahli hikmah juga menerangkan bahwa sesungguhnya manusia sudah bisa meraba-raba nasibnya apakah ia ditakdirkan manjadi orang baik atau sebaliknya yaitu dengan melihat aktifitas sehari-harinya. Apakah ia dimudahkan dalam kebaikkan ataukah tidak. Jika iya, maka ia benar-benar ditakdirkan menjadi orang baik. Karena mereka (ulama ahli hikmah) berkata:

"Tiap-tiap manusia itu dimudahkan untuk apa ia diciptakan."

Nafsu, Apa itu Nafsu?


Hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut. Dapat berupa hawa nafsu untuk pengetahuan, kekuasaan, dan lainnya; namun pada umumnya dihubungkan dengan hawa nafsu syahwat .

"Hawa nafsu" terdiri dari dua kata: hawa (الهوى) dan nafsu (النفس).
Dalam bahasa Melayu, 'nafsu' bermakna keinginan, kecenderungan atau dorongan hati yang kuat. Jika ditambah dengan kata hawa (=hawa nafsu), biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik. Adakalanya bermakna selera, jika dihubungkan dengan makanan. Nafsu syahwat pula berarti keberahian atau keinginan bersetubuh.
Ketiga perkataan ini (hawa, nafsu dan syahwat) berasal dari bahasa Arab:
  • Hawa (الهوى): sangat cinta; kehendak
  • Nafsu (النفس): roh; nyawa; jiwa; tubuh; diri seseorang; kehendak; niat; selera; usaha
  • Syahwat (الشهوة): keinginan untuk mendapatkan yang lazat; berahi.
Ada sekolompok orang menganggap hawa nafsu sebagai "syaitan yang bersemayam di dalam diri manusia," yang bertugas untuk mengusung manusia kepada kefasikan atau pengingkaran. Mengikuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang.
Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan potensi diri yang luar biasa, tetapi hawa nafsu dapat menghambat potensi itu muncul kepermukaan. Potensi yang dimaksud di sini adalah potensi untuk menciptakan keadilan, ketenteraman, keamanan, kesejahteraan, persatuan dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan nafsu yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan). Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan hawa nafsu adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki keseimbangan, kebahagian dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan di jalur-jalur yang benar sajalah menusia dapat mencapai hal tersebut.

Ada Berapa Jenis Nafsu Yang Ada Pada Hamba?
Kitab suci Al-Qur’an selalu menggambarkan Nafsu dalam bentuk dan tujuan tercela kecuali Nafsu yang sudah ditaklukkan dan dirahmati Allah (An-Nafsul Muthmainnah). Ada tiga bentuk Nafsu yang digambarkan Allah dalam Al-Qur’an,yaitu;
Pertama, Nafsu Ammarah, yaitu Nafsu yang selalu mengarah pada sifat-sifat dan sikap-sikap tercela kecuali yang mendapat rahmat dari Tuhannya (QS. Yusuf; 53). Nafsu model ini cirinya selalu menentang segala sesuatu yang tidak sesuai keinginannya dan mengajak pada perbuatan maksiat.
Kedua, Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang masih suka terombang-ambing dalam ketidakpastian, terkadang baik dan terkadang pula buruk. Ketika berbuat maksiat ia segera menyesalinya akan tetap lemah jiwanya (QS. Qiyamah; 75).
Ketiga, Nafsu Muthmainnah, yaitu; nafsu yang sudah ditaklukkan sehingga tidak lagi liar dan meradang. Tidak merasa takut ataupun sedih. Nafsu model ini selalu tenang, taat dan berada dalam jalur kebenaran yang sudah digariskan Tuhan (QS. Al Fajr; 89).
Kaum “Arifin memisalkan Nafsu ini dengan beragam bentuk. Syaikh Al-Bushiri dalam bait-bait Qashidah Burdahnya menggambarkan Nafsu ini seperti anak kecil yang senang menyusu, jika kita membiarkannya maka ia akan tetap terus menyusu tapi jika kita menyapihnya maka ia akan berhenti menyusu. Syaikh As-Sanusi mengumpamakan Nafsu itu seperti musuh yang selalu mengintai, jika kita tidak waspada dan lengah maka ia akan menyergap dan menguasai diri kita. Pemisalan ini menunjukkan bahwa Hawa Nafsu itu merupakan musuh atau sesuatu yang berbahaya bagi kesucian batin kita sebagai hamba dan sebagai khalifah di bumi.
Oleh sebab itu, jihad melawan Hawa Nafsu bukanlah perkara yang mudah karena ini berarti kita berjuang sepanjang hidup. Seperti dalam satu riwayat dari Jabir r.a. berkata; sebuah pasukan mendatangi Nabi SAW, lalu Nabi bersabda; kalian adalah sekelompok pasukan terbaik yang pulang dari jihad kecil menuju jihad akbar. Pasukan itu bertanya; apakah jihad akbar itu wahai Nabi. Nabi menjawab; yaitu; jihad sorang hamba melawan hawa-nafsunya. (H.R Al-Baihaqi).

Mari kita usahakan untuk dapat menundukkan nafsu kita sehingga sampai kepada NAFSU MUTHMAINNAH, Nafsu yang di Ridha oleh Allah. dan Inilah Nafsu yang dalam katagori HAMBA ALLAH.

Wallahu'alam

Abu Muhammad Zafran Al Asyi
Kotamini , 23 Rabiul Tsani 1439 Hijriah

Share on Google Plus

About pusatcomputer

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment